Selasa, 14 Januari 2014

PERKAWINAN SERTA MAKNA RIASAN dan PAKAIAN PENGANTIN ADAT SOLO





Kecantikan pengantin Jawa Solo adalah suatu bentuk karya budaya yang penuh makna dan filosofi tinggi. Tradisi busana ini terinspirasi dari busana para bangsawan dan raja keraton Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran, Jawa Tengah. Ada dua gaya busana pengantin Jawa Solo, busana pengantin Solo Putri dan busana pengantin Solo Basahan. Kali ini akan dibahas terlebih dahulu busana pengantin putri solo


Pengantin Perempuan
Pada busana pengantin Solo Putri, untuk pengantin perempuan terdiri dari kebaya di bagian atas dan kain batik di bagian bawah. Di bagian atas, pengantin menggunakan kebaya yang terbuat dari beludru berwarna hitam, hijau, biru, merah, ungu atau coklat. Bahan beludru menambah kesan glamor dan elegan bagi sang pengantin. Kebaya yang digunakan adalah kebaya panjang hingga lutut pengantin dan pada bagian depan memakai Bef atau Kutu Baru. Pada Kutu Baru dipasang bros renteng atau susun tiga sehingga terlihat indah.

Pada bagian bawah, menggunakan kain batik dengan motif khusus yaitu Sido Mukti, Sido Mulyo, dan Sido Asih, serta diwiru (lipatan pada bagian depan kain) berkisar 9, 11 atau 13 jumlahnya.  Saat pengantin berjalan, wiru akan melambai seperti ekor burung merak. Sebagai pelengkap busana, selop yang terbuat dari bahan beludru dengan warna senada dengan kebaya pengantin akan membuat penampilan pengantin semakin sempurna.

Pengantin Pria
Untuk busana pengantin Solo Putri, pengantin pria mengenakan Beskap Langen Harjan, kemeja berkerah dan bermanset yang dipadu dengan batin bermotif sama dengan pengantin wanita yaitu Sido Mukti, Sido Mulyo atau Sido Asih.

Perhiasan yang dikenakan pengantin pria berupa bros yang dipakai pada kerah dada sebelah kiri, dan memakai kalung Karset atau Kalung Ulur dengan bros kecil di bagian tengah yang disebut Singetan. Ujung karset ditarik ke kiri dan diselipkan pada saku beskap sebelah kiri. Di bagian pinggang, terdapat sabuk dan
Boro yang terbuat dari bahan cinde
Sebagai perlambang kegagahan, pengantin pria mengenakan keris berbentuk Ladrang dan diberi Bunga Kolong Keris. Keris Ladrang diberi ukiran di tangkai yang disebut Pendok dan diberi perhiasan berbentuk lngkaran bulat seperti cincin yang disebut Selut dan Mendak. Keris ini diselipkan di bagian belakang sabuk.


Tata rias pengantin wanita Solo Putri laksana putri raja dengan paes hitam pekat menghiasi dahi. Rias rambut dengan ukel besar laksana bokor mengkureh (bokor tengkurep), berhias ronce melati tibo dodo, diperindah perhiasan cundhuk sisir dan cundhuk mentul di bagian atas konde.


Sentuhan modifikasi pengantin Solo Putri dapat dilihat dari gaya berbusana yang menggunakan kebaya panjang lace. Mulanya hanya kebaya panjang lace warna putih, namun sekarang banyak pengantin Solo Putri menggunakan kebaya lace aneka warna.


PERKAWINAN SERTA MAKNA RIASAN dan PAKAIAN PENGANTIN ADAT JOGJAKARTA






Perkawinan merupakan dambaan dalam hidup setiap orang, dan merupakan siklus penting dalam kehidupan manusia. Manusia dianggap telah sempurna hidupnya jika telah menikah atau berkeluarga. Dalam kehidupan pernikahan diharapkan terbentuk suatu keluarga baru yang memiliki keturunan sebagai generasi penerus dalam keluarga tersebut. Begitu pentingnya perkawinan tersebut, sehingga perlu diadakan upacara pernikahan yang merupakan peralihan daur hidup seseorang dari hidup seorang diri ke tingkat hidup berkeluarga.

Dalam adat Jawa, inti upacara pernikahan adalah dimulai dengan sungkeman mohon doa restu calon pengantin kepada orang tua yang dilanjutkan dengan upacara siraman, sebagai bentuk dari pembersihan diri atau penyucian diri. Dilanjutkan dengan akad nikah yang disusul dengan panggih. Dalam upacara panggih, pengantin menjadi pusat perhatian dari tamu undangan, karena dapat di ibaratkan sebagai raja sehari. Pengantin dirias sedemikian rupa supaya berbeda dengan kesehariannya dan disesuaikan dengan kedudukannya sebagai raja sehari.


Dalam gaya tata rias adat pengantin Jawa – Yogyakarta, salah satunya adalah Paes Ageng Yogyakarta. Dari jaman Sultan HB I hingga Sultan HB VIII, Paes Ageng ini hanya boleh dikenakan kerabat kerajaan, baru pada masa pemerintahan Sultan HB IX (1940), beliau mengijinkan masyarakat umum memakai busana ini dalam upacara pernikahan.

Sampai saat ini dikalangan masyarakat Jawa terutama kalangan menengah ke atas, Busana Paes Ageng masih terus digunakan dalam upacara pernikahan. Hal ini dikarenakan biaya yang diperlukan cukup besar, baik dalam urusan busana maupun perlengkapannya.

Pemakaian busana Paes Ageng sangat rumit, memerlukan ketekunan dan ketelitian yang didalamnya terkandung kesakralan maupun makna filosofi dalam setiap detail rias wajah, busana, dan asesorisnya. Oleh karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan Paes dipercayakan pada seorang juru rias paes pengantin. Baik perias maupun pengantin putri yang dirias wajib berpuasa sebelum menjalankan acara. Tujuan utamanya adalah mengendapkan perasaan untuk membersihkan jiwa dan menguatkan batin agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dan terhindar dari malapetaka. Masyarakat Jawa percaya bahwa kebersihan dan kekuatan batin juru rias akan menjadikan pengantin yang diriasnya cantik molek dan bersinar.

Sejak zaman raja-raja Mataram, pengantin putri selalu menjadi pusat pandang karena setiap detail yang dipakainya mengandung makna filosofi yang sangat agung dan tidak semua orang mengetahuinya.

Tahap-Tahap Merias Wajah dan Makna Filosofinya

1. Ratusan
Pemberian wewangian tradisional pada rambut dan kadang bagian intim kewanitaan agar harum.

2. Halup-Halupan (cukur/ kerik rambut)
Pembersihan wajah pengantin dengan cara mencukur rambut halus yang tumbuh di dahi atau memotong rambut menjuntai ke dahi sehingga wajah tampak bersih dan siap untuk dibuat pola wajah.

3. Cengkorongan
Pembuatan pola wajah Paes Ageng gaya Yogyakarta. Penentuan bentuk dan pembuatan cengkorong ini dikerjakan dengan pensil yang hasil akhirnya berupa gambar samar-samar / tipis.
Cengkorong meliputi:
  • Citak pada dahi, yaitu bentuk belah ketupat kecil dari daun sirih pada pangkal hidung di antara dua alis yang memiliki makna bahwa citak sebagai reflesi mata Dewa Syiwa yang merupakan pusat panca indra sehingga menjadi pusat keseluruhan ide atau pikiran. Panunggul, pangapit, panitis, godeg. 
    • Panunggul dibuat di atas citak, ditengah-tengah dahi, berbentuk meru (gunung) melambangkan Trimurti (tiga kekuatan dewa yang manunggal). Ditengah-tengah panunggul diisi hiasan berbentuk capung atau kinjengan, yaitu seekor binatang yang selalu bergerak tanpa lelah dengan harapan agar pengantin selalu ulet dalam menjalani hidup.Panunggul berasal dari kata tunggal, yaitu terkemuka atau tertinggi, mengandung makna dan harapan agar seorang wanita ditinggikan atau dihormati
    • Pengapit terletak di kiri kanan panunggul berbentuk seperti meru (gunung) namun langsing
    • Penitis terletak di antara pengapit dan godheg.
Pengapit, penitis, godheg dibuat sebagai keseimbangan wajah, maka diletakkan simetris dengan panunggul.
  • Alis dibuat berbentuk menjangan ranggah (tanduk rusa). Rusa merupakan simbol kegesitan, dengan demikian kedua pengantin diharapkan dapat bertindak cekatan, trampil, dan ulet dalam menghadapi persoalan rumah tangga
Daerah sekeliling mata dibiarkan tidak terjamah oleh boreh, diberi gambaran yang disebut jahitan. Untuk membentuk mata lebih tajam dan anggun sehingga orang-orang akan mengaguminya.

4. Kandelan
Setelah cengkorongan selesai dibuat sesuai pola dasar dan tampak pantas (layak), baru kemudian paes wajah diselesaikan dengan menebalkan garis-garis yang samar menjadi paesan dadi (paes jadi)

5. Dandos
Selesai kandelan, dilanjutkan dengan dandos jangkep pengantin (pengantin berdandan lengkap) yang meliputi sanggul pengantin, perhiasan pengantin, kain pengantin, baju pengantin, dan dandosan (berbusana) lain selengkapnya

        a. Hiasan Sanggul.
Tata rambut pengantin dibuat seperti bokor tengkurap sehingga dinamakan bokor mengkurep. Sanggul rambut diisi dengan irisan daun pandan dan ditutup rajut bunga melati. Perpaduan  daun pandan dan bunga melati memancarkan keharuman yang berkesan religius, sehingga pengantin diharapkan dapat membawa nama harum yang berguna bagi masyarakat.

Gelung bokor mengkurep disempurnakan lagi dengan jebehan, yaitu 3 bunga korsase warna merah-kuning-biru (hijau) yang dirangkai menjadi satu dan dipasang di sisi kiri - kanan gelung. Tiga warna bunga itu melambangkan Trimurti (dewa Syiwa-Brahma-Wisnu).

Ditengah sanggul dihias dengan bunga merah disebut ceplok, dan di kiri – kanan ceplok itu disematkan masing-masing satu bros emas permata
Pada bagian bawah agak ke arah kanan sanggul dipasang untaian melati berbentuk belalai gajah sepanjang 40 cm, diberi nama gajah ngoling. Hiasan ini bermakna bahwa pemakainya menunjukkan kesucian/kesakralan baik sebagai putri maupun kesucian niat dalam menjalani hidup yang sakral.

          b. Asesoris Paes Ageng
Perhiasan yang dipergunakan pengantin putri disebut pula dengan nama raja keputren. Semua terbuat dari emas bertahtakan berlian yang dirancang dengan seni tinggi dan sangat halus. Satu set perhiasan ini berupa :

    Cunduk Menthul
5 tangkai bunga dipasang di atas  sanggul menghadap belakang, menggambarkan sinar matahari yang berpijar memberi kehidupan, sering juga dikaitkan dengan lima hal yang menjadi dasar kerajaan Mataram Islam saat itu, yaitu sholat 5 waktu seperti yang tercantum dalam Al-Quran
    
     Pethat/sisir berbentuk gunung
Hiasan berupa sisir terbuat dari emas diletakkan di atas sanggul berbentuk seperti gunung, sebagai simbol kesakralan. Sehingga Pengantin diharapkan dapat menunjukkan kesakralan/ kesucian. Dalam mitologi Hindu, gunung adalah tempat bersemayam nenek moyang dan tempat tinggal para dewa serta pertapa.
    
     Kalung Sungsun (kalung terdiri 3 susun)
Melambangkan 3 tingkatan kehidupan manusia dari lahir, menikah, meninggal. Hal ini dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara, dan alam fana

    Gelang Binggel Kana
Berbentuk melingkar tanpa ujung pangkal yang melambangkan kesetiaan tanpa batas

    Kelat Bahu (perhiasan pada pangkal lengan)
Berbentuk seekor naga, kepala dan ekornya membelit. Melambangkan bersatunya pola rasa dan pikir yang mendatangkan kekuatan dalam hidup. Dalam mitologi Jawa, Naga merupakan hewan suci yang dipercaya menyangga dunia.

    Centhung (berbentuk gerbang)
Perhiasan berupa sisir kecil bertahtakan berlian di letakkan diatas dahi pada sisi kiri dan kanan. Melambangkan bahwa pengantin putri telah siap memasuki pintu gerbang kehidupan rumah tangga

    Cincin
Menurut beberapa serat yang ditulis sejak jaman Sultan Agung seperti serat Centhini, serat Wara Iswara (Sunan PB IX) ditulis bahwa para putri tidak diperkenankan memakai cincin di jari tengah. Karena sebagai simbol satu perintah untuk diunggulkan, yaitu milik Tuhan. Cincin di jari manis sebagai simbol untuk senantiasa bertutur kata manis. Cincin di jari kelingking simbol untuk selalu trampil dan giat dalam mengerjakan pekerajaan rumah tangga. Cincin di ibu jari sebagai simbol untuk senantiasa melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan terbaik

          c. Busana
Busana dalam Paes Ageng terdiri dari:
Kain Dodot/Kampuh berukuran 4 – 5 meter dengan lebar 2-3 meter.Motif batik yang sering digunakan adalah Sido Mukti, Sido Asih, Semen Rama, Truntum. Motif -motif tersebut mempunyai makna filosofi yang sangat bagus berupa harapan akan berlangsungnya kehidupan rumah tangga yang kekal, saling berbagi dan mengisi dengan cinta kasih dan harapan akan dikaruniai hidup sejahtera.

Selain kain panjang, pengantin putri memakai pakaian dalam dan selendang kecil (udet) berupa kain sutra motif cinde. Konon motif ini merupakan lambang sisik naga, yaitu simbol kekuatan. Sumber  lain mengatakan bahwa motif cinde sebagai penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan kemakmuran (dewi padi).

FILSAFAT DIBALIK TEMBANG MACAPAT






Penulis sangat bersyukur terlahir sebagai “Bocah Ndeso”, tumbuh dan berkembang menjalani masa kanak-kanak dan remaja disebuah desa di pingiran Kali Brantas.
Masa kanak-kanak dan masa remaja adalah masa pembentukan jadi diri, dan penulis merasa beruntung bahwa sedari kecil telah diperkenalkan dan diajarkan tentang falsafah-falsafah serta khazanah-khazanah kearifan yang terkandung didalam budaya dan tradisi, terutama budaya Jawa seperti wayang, ketoprak maupun tembang-tembang macapatan.
Ditengah-tengah gempuran budaya-budaya asing, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah yang terus berupaya menggerus warisan budaya dan tradisi bangsa kita.Budaya barat yang Hedonis dan Liberalis kita sebut sebagai budaya Arus Kiri, sedangkan budaya Timur Tengah yang Primordialis dan anti perbedaan (Unegaliter) kita namai sebagai budaya Arus Kanan.Budaya barat mendominasi didunia entertainment kita mengubah wajah hiburan kita menjadi hingar bingar gemerlap dengan hedonisme merusak sendi-sendi kesantunan dan etika budaya bangsa kita. Budaya Timur Tengah muncul di mimbar-mimbar dakwah, menawarkan slogan-slogan kekerasan yang anti pada perbedaan, anti pada budaya dan tradisi negeri sendiri, dimana tradisi-tradisi budaya warisan nenek moyang dianggab sebagai bid’ah yang harus dimusnahkan.Setiap ada perbedaan maka mereka akan turun kejalan-jalan sambil membawa Pentungan.
Dalam upaya untuk nguri-nguri tradisi bangsa sendiri, karena menurut pemahaman penulis tradisi-tradisi yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa kita itu menawarkan kearifan yang lebih cocok bagi kepribadian bangsa kita. Salah satu budaya yang masih terekam begitu indah di kalbu penulis adalah tembang-tembang macapatan. Dahulu sewaktu penulis masih anak-anak, almarhum bapak saya seringkali menembangkan tembang-tembang macapat menjelang tidur malam.Tembang-tembang itu terasa begitu syahdu, datar namun sarat makna.
Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengajak kita semua untuk sekedar menyelami makna yang terkandung didalam tembang-tembang macapat tersebut.
Macapat merupakan tembang klasik asli Jawa, dan pertama kali muncul adalah pada awal jaman para Wali Songo, dimana para wali pada saat itu mencoba berdakwah dan mengenalkan Islam melalui budaya dan diantaranya adalah tembang-tembang macapatan ini.Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat serta Sunan Kudus adalah kreator awal munculnya tembang-tembang macapat. Apabila diperhatikan dari asal-usul bahasanya(kerata basa), macapat berarti maca papat-papat(membaca empat-empat).Kalo berdasarkan jenis dan urutannya tembang macapat ini sebenarnya menggambarkan perjalanan hidup manusia, tahap-tahap kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai dengan meninggalnya.Sebagaimana dalam Al-qur’an disebutkan: “Latarkabunna Thobaqon An Thobaq”, “Sungguh kamu akan menjalani fase demi fase kehidupan”

 


Sebagai mana banyak kebiasaan dan adat jawa yang mengandung filosofi,.. maka macapat juga banyak mengandung filosofi kehidupan,… yang kalau kita renungi mengandung nilai yang amat dalam serta sarat akan khasanah-khasanah kearifan. Di tengah gempuran budaya barat dan timur yang menggempur kita tak henti-henti, barat yang menawarkan liberalis dan hidup tanpa aturan serta unggah ungguh, dan budaya timur yang tak menerima perbedaan, yang selalu mengajak kekerasan untuk menentang perbedaan, ada baiknya kita kembali ke filosofi budaya sendiri yang amat luhur dan jelas sesuai dengan kehidupan kita yang beragam, yang mengajarkan kearifan dan kehalusan budi, tatakrama yang agung, serta keharmonisan di tengah perbedaan.
Salah satunya Macapat,.. yang kandungan filosofi amat dalam, bisa dijelaskan sbb:

 

1.Maskumambang
Adalah gambaran dimana manusia masih di alam ruh, yang kemudian ditanamkan dalam rahim/ gua garba ibu kita. Dimana pada waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada ruh-ruh kita: Alastu Bi Robbikum, Bukankah AKU ini Tuhanmu, dan pada waktu itu ruh-ruh kita telah menjawabnya: Qoolu Balaa Sahidna, Benar (Yaa Allah Engkau adalah Tuhan kami) dan kami semua menjadi saksinya.
2. Mijil
Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan keluarlah jabang bayi bernama manusia. Ada yang mbrojol di India, ada yang di China, di Afrika, di Eropa, di Amerika dst. Maka beruntunglah kita lahir di bumi pertiwi yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharjo Lir Saka Sambikala. Dan bukan terlahir di Somalia, Etiopia atau negara-negara bergizi buruk lainnya.
3. Sinom
Adalah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.
4. Kinanthi
Masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan menuntut ilmu secara sungguh-sungguh.Apa yang akan kita petik esok hari adalah apa yang kita tanam hari ini.
5. Asmarandana
Menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati.
Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian dari tanda-tanda keAgungan-Nya.
6. Gambuh
Awal kata gambuh adalah jumbuh / bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu adalah saling melengkapi dan bersinergi secara harmonis.
Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan dingin.Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi satu sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam naungan Ridlo-Nya.
7. Dhandhanggula
Gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah tercapai, cukup sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang piutang). Kurangi Keinginan Agar Terjauh dari hutang. Hidup bahagia itu kuncinya adalah rasa syukur, yakni selalu bersyukur atas rezeki yang di anugerahkan Allah SWT kepada kita.
8. Durma
Sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Allah maka kita harus sering berderma, durma berasal dari kata darma / sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi masyarakat disekitar kita.
Barangsiapa mau meringankan beban penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah akan meringankan bebannya sewaktu di Akirat kelak.
9. Pangkur
Pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang menggerogoti jiwa kita. Menyingkirkan nafsu-nafsu angkara murka, memerlukan riyadhah / upaya yang sungguh-sungguh, dan khususnya di bulan Ramadhan ini mari kita gembleng hati kita agar bisa meminimalisasi serta mereduksi nafsu-nafsu angkara yang telah mengotori dinding-dinding kalbu kita.
10. Megatruh
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya Ruh / Nyawa menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau keabadian yang Celaka yaitu di Neraka).
Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut , Setiap Jiwa Pasti Akan Mati .
Kullu Man Alaiha Faan , Setiap Manusia Pasti Binasa .
Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul Qootimah) ataukah sebaliknya ?
11. Pocung (Pocong / dibungkus kain mori putih)
Manakala yang tertinggal hanyalah jasad belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan / mori putih, diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang lahat, rumah terakhir kita didunia.
Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna , Sesungguhnya kamu itu akan mati dan mereka juga akan mati.
Demikian luhurnya filososfi yang terkandung dalam setiap tembang Macapat,.. dimulai dari kita berbentuk roh sampai kita berpisah dengan roh kita, itulah tingkat kehidupan dan pencapaian2 yang ingin digambarkan dalam setiap tembang macapat. Bahwa kehidupan ini tak ada yang instan, untuk sampai pada tujuan tertentu selalu ada tahapan atau tingkatan yang dilalui untuk jadi pribadi yang sempurna. Dan setiap tahapan pasti mengajarkan nilai kehidupan.