Fenomena kebudayaan Indonesia mendapati kekhasan
dalam ketupat. Karena ketupat, ritual keagamaan tidak lagi persoalan hukum
agama, tetapi telah merasuk pada kebiasaan, pranata sosial, hingga instrumen komunikasi
virtual maupun aktual.Seorang sarjana bidang kajian budaya tidak dapat
dikatakan paham secara emik latar masyarakat Indonesia jika tidak mampu
membelah makna ketupat. Persoalan yang dihadapi para ahli, seberapa jauh makna
ketupat relevan dalam pembentukan kebudayaan Indonesia modern?
Selama ini, kita baru tahu dari kajian antropologi
struktural Claude Levi-Strauss tentang hubungan makanan dan kebudayaan. Buku
Myth and Meaning (1978) mampu menjelaskan hasil-hasil kajiannya tentang
kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu yang dipilih sebuah suku. Raymond
Thallis (1996) meneliti hubungan antara makanan, pembentukan kosakata, dan
identitas kebudayaan.Sebagai contoh, dibandingkan dengan Barat yang minim,
kekayaan kosakata untuk buah kelapa kecil sampai tua menunjukkan, kebudayaan
Indonesia amat terkait dengan lingkungan pantai tempat pohon kelapa tumbuh.
Fase kehidupan
Berdasar perspektif itu, tidak sulit dipahami
adanya menu makanan yang berbeda untuk mengenang aneka peristiwa penting dalam
hidup manusia. Kelahiran bayi ditandai menu makanan dari dedaunan hijau dan
biji-bijian. Bayi itu tumbuh dan saat menyelesaikan hal-hal penting dalam fase
kehidupan, acara selamatan akan digelar dengan menu makanan yang berasal dari
pasar. Masyarakat kebanyakan menyebut jajan pasar.
Saat dewasa, seorang individu menyatakan lamaran
dengan bahan makanan yang penuh simbol. Tebu, hasil palawija, kelapa, dan
makanan pokok ditata di ruang tamu. Manakala saatnya tiba sebuah keluarga kecil
sudah mampu membuat rumah, maka topping off ditandai makanan simbolik yang
diletakkan di ketinggian. Padi dan ketela untuk kemakmuran, kelapa untuk
kekuatan, bubur merah dan putih untuk keseimbangan, dan bendera Merah-Putih
sebagai identitas kebangsaan. Akhirnya kematian ditandai dengan nasi tumpeng
dibelah dua.
Semiotika ketupat
Konfirmasi atas fakta-fakta itu hendak membuktikan
betapa eksistensi makanan ketupat dalam kultur masyarakat Indonesia tidak dapat
diabaikan. Bila kita meminjam perangkat metode semiologi Charles Sanders
Peirce, proses produksi pemaknaan ketupat dapat dilihat sebagai ikon, lambang,
dan simbol. Ikon adalah penunjuk langsung; lambang adalah proses pengangkatan
ikon ke dalam norma-norma keseharian; simbol adalah lapis pemaknaan reflektif
atas lambang yang terkait struktur kebudayaan.
Sebagai ikon, ketupat dideskripsikan sebagai
makanan berbahan beras yang dibungkus daun muda pohon kelapa atau janur. Tidak
setiap orang mampu membuat anyaman janur sebagai wadah beras. Ikonografis
ketupat lalu dimunculkan sebagai romantisme menyambut Lebaran.Sebagai lambang,
ketupat memberi arti penting dalam proses perayaan. Sebagai bukti, sebagian
masyarakat pesisir Jawa membagi perayaan Lebaran menjadi dua, Idul Fitri dan
Lebaran Ketupat. Idul Fitri jatuh 1 Syawal, sedangkan Lebaran Ketupat adalah
satu minggu setelahnya (7 Syawal). Ketupat tidak ada dalam Idul Fitri karena
hanya hadir dalam Lebaran Ketupat.
Sebagai simbol, secara historis ketupat lahir dari
sebuah pergulatan kebudayaan pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ
de Graaf menyebutkan, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada
masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15.Bungkus
ketupat dipilih dari janur. Mengapa janur? De Graaf menduga-duga secara
antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena
pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning
memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah
dari Asia Timur.
Saling kunjung
Kebiasaan berkunjung dan bersalaman bisa dijelaskan
melalui etimologi kata ketupat, yakni kupat (Jw) (Sumber: Slamet Mulyono Kamus
Basa Jawa, 2008: 199). Para frase kupat adalah ngaku lepat, mengaku bersalah.
Kata itu menuntut kita menghilangkan rasa benci, tersinggung, dan introspeksi
diri agar bisa saling memaafkan. Ketupat membimbing manusia pada fase pemahaman
paling ultim tentang hakikat manusia.
Kini, budaya ketupat tidak bisa tergantikan. Memang
ada gambar ketupat di kartu pos, e-mail, SMS, MMS, dan aneka jejaring sosial.
Namun, karena makan ketupat itu tidak bisa secara virtual, ketupat mengundang
kita untuk hadir, bertatap muka, saling bercerita. Kita disadarkan, betapa
kehidupan sehari-hari menjauhkan kita dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Kita
menjadi makhluk asing yang terlempar dari budaya ketupat.
Ada pula ketupat sayur di Jakarta. Namun, meski
kita bisa makan kapan saja, sebetulnya menu itu ingin menghadirkan budaya
ketupat dalam kehidupan sehari-hari, bukan setahun sekali. (Kompas, 19
September 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar