Puntadewa (Yudistira)
Nama lain Puntadewa :
* Ajataśatru, "yang
tidak memiliki musuh".
* Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
* Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
* Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
* Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
* Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
* Pandawa, "putera Pandu".
* Partha, "putera Prita atau Kunti".
* Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
* Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
* Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
* Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
* Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
* Pandawa, "putera Pandu".
* Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai
oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana.
Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa
nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:
* Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
* Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
* Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
* Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
* Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
* Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
* Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
* Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
Raden Puntadewa adalah
putra sulung dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata. Sesungguhnya
Puntadewa merupakan putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat Ajian
Adityaredhaya ajaran Resi Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum
terjadinya sayembara pilih. Lalu putranya yang di keluarkan dari telingga yang dinamai
Karna dibuang dan kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama Adirata.
Secara resmi memang
Puntadewa adalah putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun sesungguhnya ia adalah
putra Dewi Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal tersebut diakibatkan oleh
kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh Pandu saat bercinta
dalam wujud kijang. Tapi akibat dari ajian Adityaredhaya, Dewi Kunti dan Prabu
Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk menghasilkan penerus takhta
kerajaan. Puntadewa bersaudarakan empat orang, dua saudara seibu dan 2 saudara
berlainan ibu. Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula
atau Pinten, dan Sadewa atau Tangsen.
Puntadewa memiliki
dasanama (nama-nama lain) yaitu Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat
menjadi buangan selama 13 tahung di kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena
merupakan putra dari Batara Darma, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja,
Gunatalikrama, Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan
dari Prabu Kresna.
Raden Puntadewa
memiliki watak sadu (suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta
perdamaian, tidak suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti
hatinya. Oleh para dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam
pewayangan bersama Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai
perlambang kesucian hati dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.
Konon, Puntadewa
dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu
selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu
mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan
patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki
hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia
pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati
Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang
Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan
perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah
dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas
hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan.
Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa
Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar
Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun
ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.
Kelak kebiasaan buruk
dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal
tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan
Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi
oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut,
para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa
mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi
hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan
kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati
oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak
dewasa, mereka selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para tetua
Astinapura turun tangan dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah
hutan angker bernama Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan
takhta Astinapura. Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah
menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri
atau para dalang juga sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam
tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak saat itu pulalah Puntadewa bernama
Yudistira.
Sebelumnya, setelah
Pandawa berhasil lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka dijebak
disuatu purocana (semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan
menyerahkan setengah dari Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu
muslihat kurawa yang membuat para Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada
malamnya mereka dapat leluasa membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang
menyadari hal itu dengan cepat membawa saudara-saudara dan ibunya lari menuju
terowngan yang diiringi oleh garangan putih sampai pada Kayangan Saptapertala,
tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke
Pancala, dimana sedang diadakan sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi.
Barang siapa berhasil mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan
yang berhasil dalam sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi
Drupadi untuk diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah
mengalahkan Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah
pohon beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga
tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama
Pancawala.
Dalam masa buangan
tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden
Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air
di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah
Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan
akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa.
Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang
mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang
siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya.
Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua
dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat
kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah
dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia
yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa
lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat
saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa
menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya
meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai
putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim.
Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada.
Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat
pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta
Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara
bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan
yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Akibat kalah bermain
dadu, Pandawa harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan
sebelumnya Drupadi pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha
menelanjanginya sampai sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan
mengeramas rambutnya sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara
Darma menolong Drupadi sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun
terakhir sebagai buangan, Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu
kerajaan bernama Wirata. Disana Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja
sebagai penasehat tak resmi raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki
jimat peninggalan dari Prabu Pandu berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak
Kyai Karawelang, Keris Kyai Kopek, dari Prabu Yudistira berupa Sumping
prabangayun, dan Sangsangan robyong yang berupa kalung. Jika puntadewa marah
dan tangannya menyentuh kalung ini makan seketika itu pulalah, ia dapat berubah
menjadi raksasa bernama Brahala atau Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan
yang dapat meredakannya hanyalah titisan Batara Wisnu yang juga dapat merubah
diri menjadi Dewa Amral. Selain itu Puntadewa juga memiliki pusaka bernama
Serat Jamus Kalimasada.
Kemudian atas bantuan
dari Werkudara, adiknya, akhirnya Puntadewa menjadi raja besar setelah
mengadakan Sesaji Raja Suya yang dihadiri oleh 100 raja dari mancanegara.
Dengan demikian Puntadewa menjadi seorang raja besar yang akan menjadi anutan
bagi raja-raja di dunia.
Pada Perang besar
Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa
menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya
behasil membunuh Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat
hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan
tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang
Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh
gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar
“….tama mati!” menjadi bigung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan
lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai,
Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu
Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan
tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi
tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya
telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya
saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah
pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan
secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap
setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar
Astina tersebut.
Setelah selesai
Baratayuda, Puntadewa menjadi raja di Astina sebentar dengan gelar Prabu
Kalimataya. Lalu di gantikan oleh cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit
dengan gelar Prabu Kresnadwipayana. Setelah tua, Puntadewa lalu memimpin
adik-adiknya untuk naik ke Puncak Himalaya untuk mencapai nirwana. Disana satu
persatu istri dan adik-adiknya meninggal, lalu hanya ia dan anjingnya lah yang
sampai di pintu nirwana, di sana Batara Indra menolak membawa masuk anjing
tersebut, namun puntadewa bersikeras membawanya masuk. Lalu setelah perdebatan
panjang anjing tersebut berubah menjadi Batara Darma dan ikut ke nirwana
bersama Puntadewa.
Raden Arjuna adalah putra ketiga dari pasangan Dewi Kunti dan Prabu Pandu atau sering disebut dengan ksatria Panengah Pandawa. Seperti yang lainnya, Arjuna pun sesungguhnya bukan putra Pandu, namun ia adalah putra dari Dewi Kunti dan Batara Indra. Dalam kehidupan orang jawa, Arjuna adalah perlambang manusia yang berilmu tingga namun ragu dalam bertindak. Hal ini nampak jelas sekali saat ia kehilangan semangat saat akan menghadapi saudara sepupu, dan guru-gurunya di medan Kurusetra. Keburukan dari Arjuna adalah sifat sombongnya. Karena merasa tangguh dan juga tampan, pada saat mudannya ia menjadi sedikit sombong.
* Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Nama-nama
lain :
- Bratasena
- Balawa
- Birawa
- Dandungwacana
- Nagata
- Kusumayuda
- Kowara
- Bima
- Pandusiwi
- Bayusuta
- Sena
- Wijasena
- Jagal Abilawa
Raden
Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu
Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan Dewi Kunti
sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini merupakan kutukan
dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya yang dimiliki oleh Dewi
Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki keturunan.
Pada saat
lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis
yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi
Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu
kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan
tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari
sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat
penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai
terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada
Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan
Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan
Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan
bungkus bayi tersebut.
Sebelum
dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi sang bayi pakaian
yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan nyata, banyak ditemui di
pulau Bali sebagai busana patung-patung yang danggap sakral (kain poleng= kain
kotak-kotak berwarna hitam dan putih), Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda,
Pupuk Jarot Asem dan Sumping (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah
berbusana lengkap, Batari Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas
Gajah Sena memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi
tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak., anehnya
bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan, setelah keluar dari
bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati dan lalu menunggal dalam
tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara tersebut di hembuskan oleh Batara
Bayu sampai ke pangkuan Begawan Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa
tersebut menjadi bayi gagah perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian
diberi nama Jayadrata atau Tirtanata. Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena
(nama yang di gunakan sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut
srigala, Bima, Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya
menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya
menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga,
Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam
pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu Ananda,
Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra batara Bayu,
Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan Peksajandu yang
artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang merupakan panggilan
kesayangan Prabu Kresna.
Karena Bima
adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian untuk menguasai angin.
Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu, Anoman, Gunung Maenaka, Garuda
Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah Setubanda, Kapiwara, Yaksendra
Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal dalam tubuh Anoman sesaat sebelum
perang Alengka terjadi (zaman Ramayana).
Werkudara
yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas, berpendirian kuat,
teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah berbicara halus kepada
siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci,
dewanya yang sejati, ia berbicara halus dan mau menyembah.
Selama
hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin dan keprajuritan,
Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan menggunakan gada. Dalam
berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama bagi saudara sepupunya yang juga
sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.
Para Kurawa
selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka Pandawa hanya menjadi
batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai kerajaan Astina. Kurawa menganggap
kekuatan Pandawa terletak pada Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat
diantara kelima Pandawa, sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni
yang mendalangi para Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat
Bima sedang bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai
mabuk dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan
diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur Jalatunda
dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu, datanglah Sang Hyang
Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu Werkudara, lalu olehnya Werkudara
diberi kesaktian agar kebal akan bisa apapun dan mendapat nama baru dari San
Hyang Nagaraja yaitu Bondan Peksajandu.
Akal para
Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu menantang Yudistira
untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan Astina seutuhnya. Jelas
saja Pandawa akan kalah karena seratus satu orang melawan lima, namun Werkudara
memiliki akal, ia meminta kakaknya menyisakan sedikit tempat buat dirinya.
Werkudara lalu mundur beberapa langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang
disisakan kakaknya, sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung
menjadi terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke negri-negri
sebrang itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.”
Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu Gardapati dari
kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi pendamping Prabu Gardapati
sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari kerajaan Purantura, dan Kartamarma
dari kerajaan Banyutinalang. Cerita ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai
Pandawa Timbang.
Belum puas
dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan Pandawa lewat
siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang untuk datang dalam acara
penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu pesanggrahan yang terbuat dari
kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara penyerahan tersebut diulur-ulur
hingga larut malam dan para Pandawa kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa
tertidur, hanya Bima yang masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum-
minuman keras. Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira Pandawa telah tidur
mulai membakar pesanggrahan. Sebelumnya Arjuna memperbolehkan enam orang
pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa kasihan.
Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak, dan adik-adiknya
kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura, yang mengetahui akal
licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan putih yang merupakan jelmaan
dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara
kemudian berkenalan dan menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama
Dewi Nagagini. Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak
menjadi sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja. Setelah
para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan. Di
tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan putra dari
Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan Sengkuni.
Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin membunuh mereka,
tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan Werkudara. Namun Adik dari
Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah menaruh hati pada Werkudara. Sebelum
mati Prabu Arimba menitipkan adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena
Arimbi adalah seorang rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi
Kunti yang melihat ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune,
bocah iki…” (Duh cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa
itu menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya
memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai Gatotkaca.
Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani sebagai pengganti
pamannya, Prabu Arimba.
Pada saat
berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya meminta Werkudara dan
Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula dan Sadewa yang kelaparan.
Werkudara datang kesebuah negri bernama Kerajaan Manahilan dan di sana ia
menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya,
mereka menjawab bahwa putra mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan
oleh raja di negri tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka
atau Prabu Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara
langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut. Saat dimakan
oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi gigi dari
Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu Baka. Tetapi dalam
perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan seluruh rakyat bersuka ria
karena raja mereka yang gemar memangsa manusia telah meninggal. Oleh rakyat
negri tersebut Werkudara akan dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat
ditanyai apa imbalan yang ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin
dua bungkus nasi. Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke
hutan dan kelak keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan
Pandawa di Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan
dua bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna,
makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa dalam
hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba seseorang.
Selain
Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang ahli perang dalam
air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu, putri dari Hyang Mintuna,
dewa penguasa air tawar. Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira
Pandawa telah meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang
habis terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa masih
hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Para Pandawa
yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara denagn membunuh
Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan Jayajatra yang ikut
sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari Gandamana, Werkudara
memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji Bandung Bandawasa. Setelah
memenangkan sayembara tersebut, Werkudara mempersembahkan Dewi Drupadi kepada
kakaknya, Puntadewa.
Setelah
mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti Resi Bisma,
Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk memberikan Pamdawa
hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan Pandawa tidak bersatu dan
menghindarkan perang saudara. Akhirnya Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa
lalu dihadiahi hutan Wanamarta yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang
keras akhirnya mereka dapat mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta.
Werkudara pun berhasil mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang
bersemayam di Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian
menyatu dalam tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari
selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di
Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol sebagai
patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi dengan gelar Prabu
Tugu Wasesa.
Pada
saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa harus hidup
sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun menyamar. Dalam penyamaran
tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal atau juru masak istana di negri
Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di sana ia berjasa membunuh Kencakarupa,
Rupakenca dan Rajamala yang bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh
Kencakarupa dan Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri
yang tidak lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang
menyamar.
Pernah Bima
diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta Prawitasari atau air kehidupan
di dasar samudra. Sebenarnya Tirta Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra
tetapi ada di dasar hati tiap manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan
yang di rencanakan oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima
menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke
dasar samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua
raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan Rukmakala
yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang di sumpah oleh
Batara Guru menjadi raksasa. Setelah berhasil membunuh kedua rakasasa tersebut
dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke ujud aslinya dan kembali ke
kayangan, Werkudara melanjutkan peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia
kembali diserang oleh seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku
pancanakanya, disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya
terdiam di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati,
Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam lubang
telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat wejangan tentang
makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang damai, aman, dan tenteram.
Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta bergelar Begawan Bima Suci dan
mengajarkan apa yang telah ia peroleh dari Dewa Ruci.
Werkudara
juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu
Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri
Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar
sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa
yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja
pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama
Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil
menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra
Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara
Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat.
Dalam lakon
Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk mendapat ilham kemenangan
dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan
kegagahan sang Werkudara. Mereka lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara
Guru, suami Dewi Uma, memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin
Werkudara dipotong dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka
pengusir Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima
memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang
dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.
Selain Ajian
yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki Aji Blabak
pangantol-antol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata, Werkudara memiliki
senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu Werkudara juga memiliki
pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta Bargawastra yang berbentuk anak
panah. Anak panah tersebut tak dapat habis karena setiap kali digunakan, anak
panah tersebut akan kembali ke pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan
Anoman, saudara tunggal Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara
mendapat Ilmu Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra
Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin
mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam cerita
Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut bertambah
kuat. Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil membunuh
banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua kurawa yang
dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk melunasi sumpah
Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas rambutnya setelah dikeramas
dengan darah Dursasana setelah putri Pancala tersebut dilecehkan saat Pandawa
kalah bermain dadu. Bima juga membunuh adik- adik Prabu Duryudana yang lain
seperti, Gardapati di hari ke tiga Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda,
dan Banyak lagi. Werkudara pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan
cara menyobek kulitnya dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya
yang tidak akan berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura
tersebut dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga
sesuai dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut
posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang dikuliti.
Pada hari
terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal saingan terbesar
Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri, Prabu Duryudana.
Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri yang merupakan guru dari
kedua murid dengan aturan hanya boleh memukul bagian tubuh pinggang keatas.
Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya telah kebal dan hanya paha kirinya
yang tidak terkena minyak tala, karena ia tidak mau membuka kain penutup
kemaluannya yang masih menutupi paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan
minyak tersebut ke tubuh Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini
dengan mengatakan betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam
bahasa Jawa wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha
kiri Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah Kumbakarna
yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat, ditempat lain Werkudara
mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan segala pukulan Gada Rujak Polonya.
Untunglah
Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri nya. Werkudara
yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung menghantamkan gadanya di paha
kiri Duryudana, dalam dua kali pukul Duryudana sekarat, oleh Werkudara,
Duryudana lalu dihabisi dengan menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk.
Baladewa yang melihat hal itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak
menghukumnya, namun atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang
dilakukan terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya
Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap
Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada
Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya hanya
berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Bagi
Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia lalu menyumpahi Prabu
Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang hancur.
Setelah
Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra dan para tetua
Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan dendam pada Werkudara yang
mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di tangan Werkudara terutama
Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat para Pandawa datang untuk memberi
sembah sungkem pada Destarastra, diam-diam Destarastra membaca mantra Aji
Lebursaketi untuk menghancurkan Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan
hal itu mendorong Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut
adalah arca batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu.
Destarastra kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan
masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi Kunti.
Beberapa pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah tewas sebelum
pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa ke Astina. Saat itu ia
tewas terinjak-injak putra-putranya yang berlarian karena takut akan kemarahan
Prabu Kresna yang telah menjadi Brahala.
Raden Arjuna adalah putra ketiga dari pasangan Dewi Kunti dan Prabu Pandu atau sering disebut dengan ksatria Panengah Pandawa. Seperti yang lainnya, Arjuna pun sesungguhnya bukan putra Pandu, namun ia adalah putra dari Dewi Kunti dan Batara Indra. Dalam kehidupan orang jawa, Arjuna adalah perlambang manusia yang berilmu tingga namun ragu dalam bertindak. Hal ini nampak jelas sekali saat ia kehilangan semangat saat akan menghadapi saudara sepupu, dan guru-gurunya di medan Kurusetra. Keburukan dari Arjuna adalah sifat sombongnya. Karena merasa tangguh dan juga tampan, pada saat mudannya ia menjadi sedikit sombong.
Arjuna
memiliki dasanama sebagai berikut : Herjuna, Jahnawi, Sang Jisnu, Permadi
sebagai nama Arjuna saat muda, Pamade, Panduputra dan Pandusiwi karena
merupakan putra dari Pandu, Kuntadi karena punya panah pusaka, Palguna karena
pandai mengukur kekuatan lawan, Danajaya karena tidak mementingkan harta, Prabu
Kariti saat bertahta menjadi raja di kayangan Tejamaya setelah berhasil
membunuh Prabu Niwatakaca, Margana karena dapat terbang tanpa sayap, Parta yang
berarti berbudi luhur dan sentosa, Parantapa karena tekun bertapa, Kuruprawira
dan Kurusatama karena ia adalah pahlawan di dalam baratayuda, Mahabahu karena
memiliki tubuh kecil tetapi kekuatannya besar, Danasmara karena tidak pernah
menolak cinta manapun, Gudakesa, Kritin, Kaliti, Kumbawali, Kumbayali, Kumbang
Ali-Ali, Kuntiputra, Kurusreta, Anaga, Barata, Baratasatama, Jlamprong yang
berarti bulu merak adalah panggilan kesayangan Werkudara untuk Arjuna, Siwil
karena berjari enam adalah panggilan dari Prabu Kresna, Suparta, Wibaksu,
Tohjali, Pritasuta, Pritaputra, Indratanaya dan Indraputra karena merupakan
putra dari Batara Indra, dan Ciptaning dan Mintaraga adalah nama yang digunakan
saat bertapa di gunung Indrakila. Arjuna sendiri berarti putih atau bening.
Pada saat
lahir, sukma Arjuna yang berwujud cahaya yang keluar dari rahim ibunya dan naik
ke kayangan Kawidaren tempat para bidadari. Semua bidadari yang ada jatuh cinta
pada sukma Arjuna tersebut yang bernama Wiji Mulya. Kegemparan tersebut
menimbulkan kemarahan para dewa yang lalu menyerangnya. Cahaya yang samar samar
tersebut lalu berubah menjadi sesosok manusia tampan yang berpakaian sederhana.
Hilangnya sukma Arjuna dari tubuh Dewi Kunthi menyebabkan kesedihan bagi Prabu
Pandu. Atas nasehat Semar, Pandu lalu naik ke kayangan dan meminta kembali
putranya setelah diberi wejangan oleh Batara Guru.
Sejak muda,
Arjuna sudah gemar menuntut ilmu. Ia menuntut ilmu pada siapapun. Menurutnya
lingkungan masyarakat adalah gudang dari ilmu. Guru-gurunya antara lain adalah
Resi Drona, dari Resi Dona ia mendapat senjata ampuh yang bernama panah
Cundamanik dan Arya Sengkali, yang kedua adalah Begawan Krepa, Begawan
Kesawasidi, Resi Padmanaba, dan banyak pertapa sakti lainnya. Dalam kisah
Mahabarata, Arjuna berguru pada Ramaparasu, namun dalam kisah pewayangan, hal
tersebut hampit tidak pernah disinggung.
Dalam
pewayangan diceritakan bahwa Arjuna memiliki lebih dari 40 orang istri namun
hanya beberapa saja yang terkenal dan sering di singgung dalam pedalangan.
Istri-istri Arjuna adalah sebagai berikut :
- Endang
Jimambang berputra Bambang Kumaladewa dan Bambang Kumalasekti
- Dewi
Palupi atau Dewi Ulupi berputra Bambang Irawan
- Dewi Wara
Sumbadra berputra Raden Angkawijaya atau Raden Abimanyu.
- Dewi
Srikandi tidak berputra
- Dewi Ratri
berputra Bambang Wijanarka
- Dewi
Dresnala berputra Bambang Wisanggeni
- Dewi
Juwitaningrat berputra Bambang Senggoto yang beujud raksasa
- Endang
Manuhara berputri Dewi Pregiwa dan Dewi Manuwati
- Dewi
Banowati berputri Endang Pergiwati (diasuh oleh Endang Manuhara)
- Dewi
Larasati berputra Bambang Sumitra dan Bambang Brantalaras
- Dewi
Gandawati berputra Bambang Gandakusuma
- Endang
Sabekti berputra Bambang Priyembada
- Dewi
Antakawulan berputra Bambang Antakadewa
- Dewi
Supraba berputra Bambang Prabakusuma
- Dewi
Wilutama berputra Bambang Wilugangga
- Dewi
Warsiki tidak diketahui putranya
- Dewi Surendra
tidak diketahui putranya
- Dewi
Gagarmayang tidak diketahui putranya
- Dewi
Tunjungbiru tidak diketahui putranya
- Dewi
Leng-Leng Mulat tidak diketahui putranya
- Dewi
Citranggada berputra Bambang Babruwahana
- Dewi Lestari
tidak berputra
- Dewi
Larawangen tidak berputra
- Endang Retno
Kasimpar tidak berputra
- Dewi
Citrahoyi tidak berputra
- Dewi
Manukhara tidak berputra
Banyaknya
istri yang dimiliki Arjuna ini dalam cerita pewayangan bukanlah merupakan
gambaran seseorang yang serakah istri atau mata keranjang, namun gambaran bahwa
Arjuna dapat menerima dan diterima oleh semua golongan. Ketika muda, Arjuna
pernah ingin memperistri Dewi Anggraini, istri Prabu Ekalaya atau juga sering
disebut Prabu Palgunadi dari kerajaan Paranggelung. Saat itu Arjuna yang ingin
memaksakan kehendaknya mengakibatkan Dewi Anggraini bunuh diri karena ia hanya
setia pada suaminya. Prabu Ekalaya yang mengetahui hal itu menantang Arjuna,
namun kehebatan Prabu Ekalaya ternyata lebih dari Arjuna. Arjuna lalu mengadu
pada Drona. Ia beranggapan gurunya telah ingkar janji dengan pernah menyebutkan
tidak akan pernah mengajari memanah kepada siapapun selain Arjuna. Resi Drona
lalu pergi kepada Prabu Ekalaya. Prabu Ekalaya memang adalah penggemar dari
Resi Drona, namun karena ia tak dapat berguru secara langsung, ia menciptakan
arca Drona di istananya untuk diajak bicara dadn berlatih. Oleh Drona hal
tersebut dianggap sebagai suatu hal terlarang dengan memasang arcanya di sana.
Maka sebagai gantinya Resi Drona lalu meminta Cincin Mustika Ampal yang telah
tertanam di ibu jari Prabu Ekalaya. Oleh drona jari tersebut lalu dipotong lalu
di tempelkan pada jari Arjuna. Sejak itulah Arjuna memiliki enam jari pada
tangan kanannya. Hal ini dalam bahasa Jawa disebut siwil. Saat bertemu dengan
Arjuna lagi, Prabu Ekalaya kalah. Saat itu ia menyadari bahwa ia telah
diperdaya, maka sebelum mati ia berkata akan membalas dendam pada Drona kelak
dalam Perang Baratayuda.
Arjuna
memiliki banyak sekali senjata dan aji-aji.Senjata-senjata Arjuna antara lain
adalah Panah Gendewa dari Batara Agni setelah ia membantu Batara Agni melawan
Batar Indra dengan membakar Hutan Kandawa, Panah Pasopati dari Kirata, seorang
pemburu jelmaan Batara Guru, sebelum Arjuna membunuh Niwatakaca, Mahkota Emas
dan berlian dari Batara Indra, setelah ia mengalahkan Prabu Niwatakaca dan
menjadi Raja para bidadari selama tujuh hari, keris Pulanggeni, keris Kalanadah
yang berasal dari taring Batara Kala, Panah Sarotama, Panah Ardadali, Panah
Cundamanik, Panah Brahmasirah, Panah Angenyastra, dan Arya Sengkali, keempatnya
dari Resi Drona, Minyak Jayangketon dari Begawan Wilawuk, mertuanya, pusaka
Mercujiwa, panah Brahmasirah, cambuk kyai Pamuk, panah Mergading dan banyak
lagi. Selain itu aji-aji yang dimiliki Arjuna adalah sebagai berikut :
- Aji
Panglimunan/Kemayan : dapat menghilang
- Aji
Sepiangin : dapat berjalan tanpa jejak
- Aji
Tunggengmaya : dapat mencipta sumber air
- Aji
Mayabumi : dapat meperbesar wibawa dalam pertempuran
- Aji
Mundri/Maundri/Pangatep-atep : dapat menambah berat tubuh
- Aji
Pengasihan : menjadi dikasihi sesama
- Aji
Asmaracipta : menambah kemampuan olah pikir
- Aji
Asmaratantra : menambah kekuatan dalam perang
- Aji
Asmarasedya : manambah keteguhan hati dalam perang
- Aji
Asmaraturida : meanmbah kekuatan dalam olah rasa
- Aji
Asmaragama : menambah kemampuan berolah asmara
- Aji Anima
: dapat menjadi kecil hingga tak dapat dilihat
- Aji Lakuna
: menjadi ringan dan dapat melayang
- Aji Prapki
: sampai tujuan yang diinginkan dalam sekejap mata
- Aji
Matima/Sempaliputri : dapat mengubah wujudnya.
- Aji
Kamawersita : dapat perkasa dalam olah asmara
Arjuna
pernah membantu Demang Sagotra rukun dengan istrinya saat ia mencari nasi
bungkus untuk Nakula dan Sadewa setelah peristiwa Balesigala-gala. Konon hal
ini yang membuat Demang Sagotra rela menjadi tawur kemenangan Pandawa kelak
dalam Perang Baratayuda Jayabinangun.
Setelah
Pandawa dihadiahi hutan Kandaprasta yang terkenal angker, Arjuna bertemu dengan
Begawan Wilawuk yang sedang mencarikan pria yang diimpikan putrinya. Saat itu
Begawan Wilawuk yang berujud raksasa membawa Arjuna dan menikahkannya dengan
putrinya, Dewi Jimambang. Konon ini adalah istri pertama dari Arjuna. Dari
mertuanya, ia mendapat warisan minyak Jayangketon yang berhasiat dapat melihat
makhluk halus jika dioleskan di pelupuk mata. Minyak ini berjasa besar bagi
para Pandawa yang saat itu berhadapan dengan Jin Yudistira dan
saudara-saudaranya yang tak dapat dilihat mata biasa. Saat itu pulalah Arjuna
dapat mengalahkan Jin Dananjaya dari wilayah Madukara. Jin Danajaya lalu
merasuk dalam tubuh Arjuna. Selain mendapat nama Dananjaya, Arjuna juga
memperoleh wilayah kesatrian di Madukara dengan Patih Suroto sebagai patihnya.
Saat menjadi
buangan selama 12 tahun di hutan setelah Puntadewa kalah dalam permainan dadu
Arjuna pernah pergi untuk bertapa di gunung Indrakila dengan nama Begawan
Mintaraga. Dia saat yang sama Prabu Niwatakaca dari kerajaan Manimantaka yang
meminta Dewi Supraba yang akan dijadikan istrinya. Saat itu tak ada seorang
dewapun yang dapat menandingi kehebatan Prabu Niwatakaca dan Patihnya Ditya
Mamangmurka. Menurut para dewa, hanya Arjunalah yang sanggup menaklukan raja
raksasa tersebut. Batara Indra lalu mengirim tujuh bidadari untuk
memberhentikan tapa dari Begawan Mintaraga. Ketujuh bidadari tersebut adalah
Dewi Supraba sendiri, Dewi Wilutama, Dewi Leng-leng Mulat, Dewi Tunjungbiru,
Dewi Warsiki, Dewi Gagarmayang dan Dewi Surendra. Tetapi ketujuh bidadari
tersebut tetap saja tidak berhasil menggerakkan sang pertapa dari tempat
duduknya. Setelah ketujuh bidadari tersebut kembali ke kayangan dan melaporkan
kegagalannya, tiba-tiba munculah seorang raksasa besar yang mengobrak-abrik
gunung Indrakila. Oleh Ciptaning, Buta tersebut di sumpah menjadi seekor babi
hutan. Lalu babi hutan tersebut dipanahnya. Disaat yang bersamaan panah seorang
pemburu yang bernama Keratapura. Setelah melalui perdebatan panjang dan
perkelahian, ternyata Arjuna kalah. Arjuna lalu sadar bahwa yang dihadapinya
tersebut adalah Sang Hyang Siwa atau Batara Guru. Ia lalu menyembah Batara
Guru. Oleh Bataar Guru Arjuna diberi panah Pasopati dan diminta mengalahkan
Prabu Niwatakaca. Ternyata mengalahkan Prabu Niwatakaca tidak semudah yang
dibayangkan. Arjuna lalu meminta bantuan Batari Supraba. Dengan datangnya Dewi
Supraba ke tempat kediaman Prabu Niwatakaca, membuat sang Prabu sangat senang
karena ia memang telah keseng-sem dengan sang dewi. Prabu Niwatakaca yang telah
lupa daratan tersebut menjawab semua pertanyaan Dewi Supraba, sedang Arjuna
bersembunyi di dalam gelungnya. Pertanyaan tersebut diantaranya adalah dimana
letak kelemahan Prabu Niwatakaca, sang Prabu dengan tenang menjawab,
kelemahannya ada di lidah. Seketika itu Arjuna muncul dan melawan Prabu
Niwatakaca. Karena merasa di permainkan, Prabu Niwatakaca membanting Arjuna dan
mengamuk sejadi-jadinya. Saat itu Arjuna hanya berpura-pura mati. Ketika
Niwatakaca tertawa dan sesumbar akan kekuatannya, Arjuna lalu melepaskan panah
Pasopatinya tepat kedalam mulut sang prabu dan tewaslah Niwatakaca.
Arjuna lalu
diangkat menjadi raja di kayangan Tejamaya, tempat para bidadari selama tujuh
hari (satu bulan di kayangan = satu hari di dunia). Arjuna juga boleh memilih
40 orang bidadari untuk menjadi istrinya dimana ketujuh bidadari yang
menggodanya juga termasuk dalam ke-40 bidadari tersebut dan juga Dewi Dresnala,
Putri Batara Brahma. Selain itu Arjuna juga mendapat mahkota emas berlian dari
Batara Indra, panah Ardadali dari Batara Kuwera, dan banyak lagi. Arjuna juga
diberi kesempatan untuk mengajukan suatu permintaan. Permintaan Arjuna tersebut
adalah agar Pandawa jaya dalam perang Baratayuda. Hal ini menimbulkan kritik
keras dari Semar yang merupakan pamong Arjuna yang menganggap Arjuna kurang
bijaksana. Menurut Semar, Arjuna seharusnya tidak egois dengan memikirkan diri
sendiri dan tidak memikirkan keturunan Pandawa lainnya. Dan memang benar,
kesemua Putra Pandawa yang terlibat dalam Perang Baratayuda tewas.
Di saat
Arjuna sedang duduk-duduk tiba-tiba datanglah Dewi Uruwasi. Dewi Uruwasi yang
telah jatuh cinta terhadap Arjuna meminta dijadikan istrinya. Arjuna menolak
secara halus, namun Dewi Uruwasi yang sudah buta karena cinta tetap mendesak.
Karena Arjuan tetap menolak, Dewi Uruwasi mengutuknya akan menjadi banci kelak.
Arjuna yang sedih dengan kutukan tersebut dihibur Batara Indra. Menurut Batara
Indra hal tersebut akan berguna kelak dan tak perlu disesali.Setelah kembali
dari Kayangan, Arjuna dan saudara-saudaranya harus menyamar di negri Wirata.
Dan disinilah kutukan Dewi Uruwasi berguna. Arjuna lalu menjadi guru tari dan
kesenian, dan menjadi banci yang bernama Kendri Wrehatnala. Di akhir
penyamarannya, Arjuna kembali menjadi seorang ksatria dan mengusir para kurawa
yang ingin mnghancurkan kerajaan Wirata. Arjuna lalu akan dikawinkan dengan
Dewi Utari namun Arjuna meminta agar Dewi Utari dikawinkan dengan putranya
yaitu Raden Abimanyu.
Kendati
Arjuna adalah seorang berbudi luhur namun ia tetap tidak dapat luput dari
kesalahan. Hal ini menyangkut hal pilih kasih. Saat putranya Bambang Sumitra
akan menikah dengan Dewi Asmarawati, Arjuna terlihat acuh tak acuh. Oleh Semar,
lalu acara tersebut diambil alih sehingga pesta tersebut berlangsung dengan
sangat meriah dengan mengadirkan dewa-dewa dan dewi-dewi dari kayangan. Arjuna
kemudian sadar akan kekhilafannya dalam hal pilih-pilih kasih. Suatu pelajaran
yang dapat dipetik disini adalah sebagai orang tua hendaknya tidak
memilih-milih kasih pada anak-anaknya.
Dalam perang
Baratayuda Arjuna menjadi senopati Agung Pandawa yang berhasil membunuh banyak
satriya Kurawa dan juga senotapi-senopati lainnya. Yang tewas di tangan Arjuna
antara lain Raden Jayadrata yang telah membunuh putra kesayangannya yaitu
Abimanyu, Prabu Bogadenta, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Burisrawa, dan
Adipati Karna.
Masih dalam
Baratayuda, Arjuna yang baru saja kehilangan putra kesayangannya menjadi kehilangan
semangat, ditambah lagi guru dan saudara-saudaranya satu-persatu gugur di medan
Kurusetra. Prabu Kresna lalu memberi nasihat bahwa dalam perang itu tidak ada
kawan-lawan, kakak-adik ataupun guru-murid semuanya adalah takdir dan harus
dijalani. Ajaran ini dikenal dengan nama Bagawat Gita. Yang membuat semangat
ksatria penengah pandawa tersebut kembali menyala saat akan berhadapan dengan
Adipati Karna, saudara tua seibu.
Setelah
Perang Baratayuda berakhir, Dewi Banowati yang memang telah lama berselingkuh
dengan Arjuna kemudian diperistrinya. Sebelumnya Arjuna telah memiliki seorang
putri dari Dewi Banowati. Di saat yang sama Prabu Duryudana yang mulai curiga
dengan hubungan istrinya dan Arjuna lalu berkata bahwa jika yang lahir bayi
perempuan, itu adalah putri dari Arjuna dan Banowati akan diusir tetapi jika
itu laki-laki maka itu adalah putranya. Saat bayi tersebut lahir ternyata
adalah seorang perempuan. Banowati sangat panik akan hal itu. Namun atas
pertolongan Kresna, bayi tersebut ditukar sebelum Prabu Duryudana melihatnya.
Bayi perempuan yang lalu diasuh oleh Dewi Manuhara, istri Arjuna yang lain
kemudian di beri nama Endang Pergiwati. Karena kelahirannya hampir sama dengan
putri Dewi Manuhara yang bernama Endang Pergiwa, lalu keduanya di aku kembar.
Sedang untuk putra dari Dewi Banowati dan Prabu Duryudana, Prabu Kresna
mengambil seorang anak gandrawa dan diberi nama Lesmana Mandrakumara. Karena ia
adalah anak gandrawa yang dipuja menjadi manusia, maka Lesmana Mandrakumara
memiliki perwatakan yang cengeng dan agak tolol. Malang bagi Dewi Banowati,
pada malam ia sedang mengasuh Parikesit, ia dibunuh oleh Aswatama yang
bersekongkol dengan Kartamarma dan Resi Krepa untuk membunuh Parikesit yang
masih Bayi. Dihari yang sama Dewi Srikandi, dan Pancawala juga dibunuh saat
sedang tidur. Untunglah bayi parikesit yang menangis lalu menendang senjata
Pasopati yang di taruh Arjuna di dekatnya dan membunuh Aswatama.
Arjuna yang
sedang sedih karena Banowati telah dibunuh bersama Dewi Srikandi lalu mencari seorang
putri yang mirip dengan Dewi Banowati. Putri tersebut adalah Dewi Citrahoyi,
istri Prabu Arjunapati yang juga murid dari prabu Kresna. Prabu Kresna yang
tanggap akan hal itu lalu meminta Prabu Arjunapati menyerahkan istrinya pada
Arjuna. Prabu Arjunapati yang tersinggung akan hal itu menantang Prabu Kresna
berperang dan dalam pertempuran itu Prabu Arjunapati gugur sampyuh dengan Patih
Udawa dan Dewi Citrahoyi lalu menjadi istri Arjuna.
Setelah
penguburan para pahlawan yang gugur dalam perang Baratayuda dan pengangkatan
Prabu Puntadewa menjadi raja Astina dengan gelar Prabu Kalimataya, Arjuna
melaksanakan amanat kakaknya dengan mengadakan Sesaji Korban Kuda atau disebut
Sesaji Aswameda. Arjuna yang diiringi sepasukan tentara Astina lalu mengikuti
seekor kuda kemanapun kuda itu berjalan dan kerajaan-kerajaan yang dilewati
kuda tersebut harus tunduk pada Astina, jika tidak Arjuna dan pasukannya akan
menyerang kerajaan tersebut. Semua kerajaan yang dilewati kuda tersebut
ternyata dapat dikalahkan. Arjuna lalu kembali ke Astina dan akhir hidupnya
diceritakan mati moksa dengan keempat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Resminya, Nakula
atau Pinten adalah putra dari Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Namun karena Prabu
Pandu tak dapat behubungan tubuh dengan istrinya, maka Dewi Madri yang telah
diajari ilmu Adityaredhaya oleh Dewi Kunti memanggil dewa tabib kayangan yang
juga dikenal sebagai dewa kembar. Batara Aswan-Aswin. Nakula adalah putra dar
Batara Aswan sedang Sadewa adalah putra dari Batara Aswin.
Raden Nakula
memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi
serta dapat menjaga rahasia.
Setelah 12 tahun
menjadi buangan di hutan, Nakula beserta saudara-saudaranya menyamar di negri
Wirata. Di sana Nakula menjadi seorang pelatih kuda kerajaan bernama
Darmagrantika.
Aji-aji yang
dimiliki oleh Nakula adalah Aji Pranawajati yang berhasiat tak dapat lupa akan
hal apapun. Aji ini ia dapat dari Ditya Sapujagad, seorang perwira Kerajaan
Mertani di bawah kekuasaan Prabu Yudistira yang menyatu dalam tubuhnya. Nakula
pun mendapat wilayah yang dulu diperintah oleh Sapujagad yaitu Sawojajar.
Nakula juga memiliki cupu yang berisi Banyu Panguripan dari Batara Indra, cupu
berisi Tirta Manik yang merupakan air kehidupan dari mertuannya Begawan
Badawanganala.
Raden Nakula
menikah dengan Dewi Retna Suyati, putri dari Prabu Kridakerata dari Awu-Awu
Langit dan berputra Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Ia juga menikah
dengan Dewi Srengganawati, putri Dari Begawan Badawanganala dari Gisik Samudra
berputri Dewi Sritanjung. Saat perang Baratayuda berlangsung, Nakula dan Sadewa
diutus Prabu Kresna untuk menemui Prabu Salya dengan membawa patrem (semacam
pisau kecil) dan minta dibunuh karena tidak tahan melihat saudara-saudaranya
mati karena tak ada satupun manusia yang sanggup menandingi Aji Candabirawa
Prabu Salya. Prabu Salya yang terharu lalu memberikan rahasia kelemahannya
kepada si kembar bahwa yang sanggup membunuhnya adalah Puntadewa yang berdarah
putih.
Setelah
Baratayuda selesai, Nakula diangkat menjadi raja di Mandrapati menggantikan
Prabu Salya karena semua putranya tewas dalam perang Baratayuda. Diceritakan
bahwa Nakula mati moksa bersama empat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Dalam
Wikipedia, Nakula (Sansekerta: नकुल, Nakula), adalah seorang tokoh protagonis dari
wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Dewi Madri, kakak ipar Dewi Kunti.
Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib
kembar.
Menurut
kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut
Dropadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk
Nakula adalah membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan
oleh Yudistira dalam kitab Prasthanikaparwa.
Secara
harfiah, kata nakula dalam bahasa Sansekerta merujuk kepada warna Ichneumon,
sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga dapat berarti
“cerpelai”, atau dapat juga berarti “tikus benggala”. Nakula juga merupakan
nama lain dari Dewa Siwa.
Menurut
Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan istimewa dalam
merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang yang sangat menghibur hati.
Ia juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan selalu mengawasi kenakalan
kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau yang terasa serius. Nakula juga
memiliki kemahiran dalam memainkan senjata pedang.
Saat para
Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa (Bima, Arjuna,
Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari sebuah danau. Ketika
sesosok roh gaib memberi kesempatan kepada Yudistira untuk memilih salah satu
dari keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali, Nakula-lah dipilih oleh
Yudistira untuk hidup kembali. Ini karena Nakula merupakan putera Madri, dan
Yudistira, yang merupakan putera Kunti, ingin bersikap adil terhadap kedua ibu
tersebut. Apabila ia memilih Bima atau Arjuna, maka tidak ada lagi putera Madri
yang akan melanjutkan keturunan.
Ketika para
Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata, Nakula menyamar
sebagai perawat kuda dengan nama samaran “Grantika”. Nakula turut serta dalam
pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan perang besar tersebut.
Dalam
kitab Prasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa
Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam perjalanan ketika para
Pandawa hendak mencapai puncak gunung Himalaya. Sebelumnya, Dropadi tewas dan
disusul oleh saudara kembar Nakula yang bernama Sadewa. Ketika Nakula
terjerembab ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira, “Kakakku, adik kita ini
sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan tidak ada yang
menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?”. Yudistira yang bijaksana
menjawab, “Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah
kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang
dimilikinya, dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai
di sini”. Setelah mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna
melanjutkan perjalanan mereka. Mereka meninggalkan jenazah Nakula di sana,
tanpa upacara pembakaran yang layak, namun arwah Nakula mencapai kedamaian.
Nakula dalam
pewayangan Jawa
Nakula dalam
pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang
daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu
Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri
Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar
bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga saudara satu
ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama
Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna.
Nakula
adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai
mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang
segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad,
Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi “Banyu Panguripan” atau
“Air kehidupan” pemberian Bhatara Indra.
Nakula
mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat
menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.
Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
* Dewi
Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua
orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
* Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah
selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka
sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya
diceritakan, Nakula mati moksa di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.
Raden Sadewa
atau Tangsen yang merupakan saudara kembar dari Raden Nakula adalah bungsu dari
Pandawa. Ia adalah putra dari Dewi Madrim dan Batara Aswin, dewa kembar bersama
Batara Aswan, ayah Nakula.
Raden Sadewa
memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi
serta dapat menjaga rahasia. Dalam hal olah senjata, sadewa ahli dalam
penggunaan pedang. Nama-nama lain dari Sadewa adalah Sudamala, dan
Madraputra.
Dalam
penyamaran di Negri Wirata Sadewa menjadi pengurus taman kerajaan di Wirata
bernama Tantripala.
Jika Nakula
tak dapat lupa akan segala hal maka, Sadewa juga memiliki ingatan yang kuat
serta ahli dalam hal menganalisis sesuatu. Sadewa juga ahli dalam hal
Metafisika dan dapat tahu hal yang akan terjadi. Ini diperoleh dari Ditya
Sapulebu yang dikalahkannya dan menyatu dalam tubuhnya saat Pandawa membuka
hutan Mertani. Selain itu, Sadewa mendapatkan wilayah Bumiretawu atau juga
disebut Bawertalun.
Sadewa
menikah dengan Dewi Srengginiwati putri Begawan Badawanganala dan berputra
Bambang Widapaksa. Selain itu Ia juga menikah dengan Dewi Rasawulan, putri dari
Prabu Rasadewa dari kerajaan Selamiral. Menurut kabar, yang sanggup memperistri
Dewi Rasawulan akan unggul dalam Baratayuda Di saat yang sama Arjuna dan
Dursasana juga datang melamar, namun yang memenakan sayembara pilih itu
hanyalah Sadewa karena ia sanggup menjabarkan apa arti cinta sebenarnya.
Sebelum
pecah Baratayuda, ada dua raksasa penjelmaan Citraganda dan Citrasena yang
bernama Kalantaka dan Kalanjaya yang datang ke Astina hendak membantu kerajaan
Astina. Kedua raksasa tersebut sebenarnya hanyalah jin biasa, namun karena
dikutuk oleh Batara Guru akibat mengintip Batara Guru dan Dewi Uma yang sedang
mandi di telaga. Kehadiran kedua raksasa tersebut tenyata menimbulkan kegusaran
dalam diri Dewi Kunti. Dewi Kunti lalu memohon pada Batari Durga agar kedua
raksasa tersebut dimusnahkan. Batari Durga meminta Sadewa sebagai tumbalnya. Mendengar
hal itu, Dewi Kunti tidak setuju dan kemudian kembali ke Amarta. Batari Durga
kemudian menyuruk Kalika, seorang jin anak buahnya untuk menyusup kedalam tubuh
Dewi Kunti. Dalam keadaan kerasukan, Dewi Kunti menyuruh sadewa sebagai tumbal
dan diminta menghadap Batari Durga. Sadewa pun hanya menurut perintah ibu
tirinya yang telah mengasuhnya dari kecil.
Sesampainya
di hutan, Batari Durga minta diruwat oleh Sadewa menjadi putri yang cantik.
Sadewa tidak sanggup melakukannya dan lalu akan dimangsa oleh Batari Durga.
Sang Hyang Narada yang mengetahui hal itu lalu melaporkannya pada Batara Guru.
Batara Guru lalu merasuk kedalam tubuh Sadewa dan meruwat Batari Durga.
Kemudian kedua raksasa jelmaan Citraganda dan Citrasena dimusnahkan. Cerita ini
dikenal dengan lakon Sudamala.
Setelah
perang baratayuda selesai, Sadewa memilih menjadi patih Hastina dan juga
pendamping Puntadewa. Akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan
saudara-saudaranya.
Dalam
pewayangan gaya Yogyakarta, wayang Nakula dan Sadewa dibedakan oleh jamang lidi
(semacam hiasan kepala) yang di tunjuk dalam gambar dibawah. Sadewa menggunakan
jamang lidi sedang Nakula tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar