Selasa, 14 Januari 2014

PERKAWINAN SERTA MAKNA RIASAN dan PAKAIAN PENGANTIN ADAT JOGJAKARTA






Perkawinan merupakan dambaan dalam hidup setiap orang, dan merupakan siklus penting dalam kehidupan manusia. Manusia dianggap telah sempurna hidupnya jika telah menikah atau berkeluarga. Dalam kehidupan pernikahan diharapkan terbentuk suatu keluarga baru yang memiliki keturunan sebagai generasi penerus dalam keluarga tersebut. Begitu pentingnya perkawinan tersebut, sehingga perlu diadakan upacara pernikahan yang merupakan peralihan daur hidup seseorang dari hidup seorang diri ke tingkat hidup berkeluarga.

Dalam adat Jawa, inti upacara pernikahan adalah dimulai dengan sungkeman mohon doa restu calon pengantin kepada orang tua yang dilanjutkan dengan upacara siraman, sebagai bentuk dari pembersihan diri atau penyucian diri. Dilanjutkan dengan akad nikah yang disusul dengan panggih. Dalam upacara panggih, pengantin menjadi pusat perhatian dari tamu undangan, karena dapat di ibaratkan sebagai raja sehari. Pengantin dirias sedemikian rupa supaya berbeda dengan kesehariannya dan disesuaikan dengan kedudukannya sebagai raja sehari.


Dalam gaya tata rias adat pengantin Jawa – Yogyakarta, salah satunya adalah Paes Ageng Yogyakarta. Dari jaman Sultan HB I hingga Sultan HB VIII, Paes Ageng ini hanya boleh dikenakan kerabat kerajaan, baru pada masa pemerintahan Sultan HB IX (1940), beliau mengijinkan masyarakat umum memakai busana ini dalam upacara pernikahan.

Sampai saat ini dikalangan masyarakat Jawa terutama kalangan menengah ke atas, Busana Paes Ageng masih terus digunakan dalam upacara pernikahan. Hal ini dikarenakan biaya yang diperlukan cukup besar, baik dalam urusan busana maupun perlengkapannya.

Pemakaian busana Paes Ageng sangat rumit, memerlukan ketekunan dan ketelitian yang didalamnya terkandung kesakralan maupun makna filosofi dalam setiap detail rias wajah, busana, dan asesorisnya. Oleh karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan Paes dipercayakan pada seorang juru rias paes pengantin. Baik perias maupun pengantin putri yang dirias wajib berpuasa sebelum menjalankan acara. Tujuan utamanya adalah mengendapkan perasaan untuk membersihkan jiwa dan menguatkan batin agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dan terhindar dari malapetaka. Masyarakat Jawa percaya bahwa kebersihan dan kekuatan batin juru rias akan menjadikan pengantin yang diriasnya cantik molek dan bersinar.

Sejak zaman raja-raja Mataram, pengantin putri selalu menjadi pusat pandang karena setiap detail yang dipakainya mengandung makna filosofi yang sangat agung dan tidak semua orang mengetahuinya.

Tahap-Tahap Merias Wajah dan Makna Filosofinya

1. Ratusan
Pemberian wewangian tradisional pada rambut dan kadang bagian intim kewanitaan agar harum.

2. Halup-Halupan (cukur/ kerik rambut)
Pembersihan wajah pengantin dengan cara mencukur rambut halus yang tumbuh di dahi atau memotong rambut menjuntai ke dahi sehingga wajah tampak bersih dan siap untuk dibuat pola wajah.

3. Cengkorongan
Pembuatan pola wajah Paes Ageng gaya Yogyakarta. Penentuan bentuk dan pembuatan cengkorong ini dikerjakan dengan pensil yang hasil akhirnya berupa gambar samar-samar / tipis.
Cengkorong meliputi:
  • Citak pada dahi, yaitu bentuk belah ketupat kecil dari daun sirih pada pangkal hidung di antara dua alis yang memiliki makna bahwa citak sebagai reflesi mata Dewa Syiwa yang merupakan pusat panca indra sehingga menjadi pusat keseluruhan ide atau pikiran. Panunggul, pangapit, panitis, godeg. 
    • Panunggul dibuat di atas citak, ditengah-tengah dahi, berbentuk meru (gunung) melambangkan Trimurti (tiga kekuatan dewa yang manunggal). Ditengah-tengah panunggul diisi hiasan berbentuk capung atau kinjengan, yaitu seekor binatang yang selalu bergerak tanpa lelah dengan harapan agar pengantin selalu ulet dalam menjalani hidup.Panunggul berasal dari kata tunggal, yaitu terkemuka atau tertinggi, mengandung makna dan harapan agar seorang wanita ditinggikan atau dihormati
    • Pengapit terletak di kiri kanan panunggul berbentuk seperti meru (gunung) namun langsing
    • Penitis terletak di antara pengapit dan godheg.
Pengapit, penitis, godheg dibuat sebagai keseimbangan wajah, maka diletakkan simetris dengan panunggul.
  • Alis dibuat berbentuk menjangan ranggah (tanduk rusa). Rusa merupakan simbol kegesitan, dengan demikian kedua pengantin diharapkan dapat bertindak cekatan, trampil, dan ulet dalam menghadapi persoalan rumah tangga
Daerah sekeliling mata dibiarkan tidak terjamah oleh boreh, diberi gambaran yang disebut jahitan. Untuk membentuk mata lebih tajam dan anggun sehingga orang-orang akan mengaguminya.

4. Kandelan
Setelah cengkorongan selesai dibuat sesuai pola dasar dan tampak pantas (layak), baru kemudian paes wajah diselesaikan dengan menebalkan garis-garis yang samar menjadi paesan dadi (paes jadi)

5. Dandos
Selesai kandelan, dilanjutkan dengan dandos jangkep pengantin (pengantin berdandan lengkap) yang meliputi sanggul pengantin, perhiasan pengantin, kain pengantin, baju pengantin, dan dandosan (berbusana) lain selengkapnya

        a. Hiasan Sanggul.
Tata rambut pengantin dibuat seperti bokor tengkurap sehingga dinamakan bokor mengkurep. Sanggul rambut diisi dengan irisan daun pandan dan ditutup rajut bunga melati. Perpaduan  daun pandan dan bunga melati memancarkan keharuman yang berkesan religius, sehingga pengantin diharapkan dapat membawa nama harum yang berguna bagi masyarakat.

Gelung bokor mengkurep disempurnakan lagi dengan jebehan, yaitu 3 bunga korsase warna merah-kuning-biru (hijau) yang dirangkai menjadi satu dan dipasang di sisi kiri - kanan gelung. Tiga warna bunga itu melambangkan Trimurti (dewa Syiwa-Brahma-Wisnu).

Ditengah sanggul dihias dengan bunga merah disebut ceplok, dan di kiri – kanan ceplok itu disematkan masing-masing satu bros emas permata
Pada bagian bawah agak ke arah kanan sanggul dipasang untaian melati berbentuk belalai gajah sepanjang 40 cm, diberi nama gajah ngoling. Hiasan ini bermakna bahwa pemakainya menunjukkan kesucian/kesakralan baik sebagai putri maupun kesucian niat dalam menjalani hidup yang sakral.

          b. Asesoris Paes Ageng
Perhiasan yang dipergunakan pengantin putri disebut pula dengan nama raja keputren. Semua terbuat dari emas bertahtakan berlian yang dirancang dengan seni tinggi dan sangat halus. Satu set perhiasan ini berupa :

    Cunduk Menthul
5 tangkai bunga dipasang di atas  sanggul menghadap belakang, menggambarkan sinar matahari yang berpijar memberi kehidupan, sering juga dikaitkan dengan lima hal yang menjadi dasar kerajaan Mataram Islam saat itu, yaitu sholat 5 waktu seperti yang tercantum dalam Al-Quran
    
     Pethat/sisir berbentuk gunung
Hiasan berupa sisir terbuat dari emas diletakkan di atas sanggul berbentuk seperti gunung, sebagai simbol kesakralan. Sehingga Pengantin diharapkan dapat menunjukkan kesakralan/ kesucian. Dalam mitologi Hindu, gunung adalah tempat bersemayam nenek moyang dan tempat tinggal para dewa serta pertapa.
    
     Kalung Sungsun (kalung terdiri 3 susun)
Melambangkan 3 tingkatan kehidupan manusia dari lahir, menikah, meninggal. Hal ini dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara, dan alam fana

    Gelang Binggel Kana
Berbentuk melingkar tanpa ujung pangkal yang melambangkan kesetiaan tanpa batas

    Kelat Bahu (perhiasan pada pangkal lengan)
Berbentuk seekor naga, kepala dan ekornya membelit. Melambangkan bersatunya pola rasa dan pikir yang mendatangkan kekuatan dalam hidup. Dalam mitologi Jawa, Naga merupakan hewan suci yang dipercaya menyangga dunia.

    Centhung (berbentuk gerbang)
Perhiasan berupa sisir kecil bertahtakan berlian di letakkan diatas dahi pada sisi kiri dan kanan. Melambangkan bahwa pengantin putri telah siap memasuki pintu gerbang kehidupan rumah tangga

    Cincin
Menurut beberapa serat yang ditulis sejak jaman Sultan Agung seperti serat Centhini, serat Wara Iswara (Sunan PB IX) ditulis bahwa para putri tidak diperkenankan memakai cincin di jari tengah. Karena sebagai simbol satu perintah untuk diunggulkan, yaitu milik Tuhan. Cincin di jari manis sebagai simbol untuk senantiasa bertutur kata manis. Cincin di jari kelingking simbol untuk selalu trampil dan giat dalam mengerjakan pekerajaan rumah tangga. Cincin di ibu jari sebagai simbol untuk senantiasa melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan terbaik

          c. Busana
Busana dalam Paes Ageng terdiri dari:
Kain Dodot/Kampuh berukuran 4 – 5 meter dengan lebar 2-3 meter.Motif batik yang sering digunakan adalah Sido Mukti, Sido Asih, Semen Rama, Truntum. Motif -motif tersebut mempunyai makna filosofi yang sangat bagus berupa harapan akan berlangsungnya kehidupan rumah tangga yang kekal, saling berbagi dan mengisi dengan cinta kasih dan harapan akan dikaruniai hidup sejahtera.

Selain kain panjang, pengantin putri memakai pakaian dalam dan selendang kecil (udet) berupa kain sutra motif cinde. Konon motif ini merupakan lambang sisik naga, yaitu simbol kekuatan. Sumber  lain mengatakan bahwa motif cinde sebagai penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan kemakmuran (dewi padi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar